Selasa, 21 Juni 2016

Becak kubeli, 20km kugenjot sendiri

Entah apa yang kupikirkan ketika itu selepas pulang mancing sidat jam 04 pagi hari bukannya lansung tidur, eh malah buka internet di komputer. Bermula dari browsing kendaraan classic hingga tempat pembuatan becak. Hingga mataku menatap situs on line yang menawarkan becak dengan harga 650 ribuan. "Harga becak 600 ribuan. murah juga ya, Dari pada bikin sendiri tentu lebih mahal dan tentu saja tidak bisa"' pikirku. Langsung saja kucatat beberapa no hp penjual yang menawarkan becak dan mengirimkan sms menanyakan kepada penjual apakah becaknya masih tersedia. Dari 2 penjual yang mengiklankan hanya 1 yang merespon. Kemudian aku putuskan pada pagi hari menjelang siang untuk meluncur ke tempat pengiklan dan melihat becaknya

Alamat pengiklan ternyata lumayan jauh juga dari rumahku. pengiklan beralamat di diselatan candi boko prambanan yang berjarak +- 18-20km kearah timur jogja. Walau mata mengantuk dan badan capek karena belum tidur dan istirahat, kuputuskan berangkat melihat becak sambil membawa cadangan uang sebagai porsekot. Setibanya dirumah pengiklan becak kutemui penjualnya dan menanyakan asal usul, kondisi dan surat yang ada. Singkat kata dari harga 650ribu becak dilepas dengan harga 600ribu. Kuberikan DP 200 ribu sambil meminta kwitansi dan ku janjikan kurang dari seminggu akan kulunasi sambil mengambil becaknya.

Kondisi becak ketika dipantau
 Perjalanan membawa becak itu gampang gampang susah. Gampangnya yaitu ketika jalan datar dan lalu lintas tidak terlalu ramai. Susahnya yaitu ketika mengendarai dijalanan menanjak karena kita berat untuk menggenjotnya, jadi kita harus turun dari becak dan mendorong dengan kekuatan yang ada. Juga ketika berada diturunan jalan yang curam, kita harus  membawa dengan pelan, menahan genjotan pedal sambil tangan kita menahan rem yang berada tepat di depan (maaf) kemaluan kita. Karena kalau tidak berjalan pelan sambil direm, gaya gravitasi akan membawa becak meluncur dengan sangat cepat dan tentu saja bisa terjungkal. Juga ketika lalu lintas padat tentu saja kita sedikit sedikit harus menggunakan kemampuan untuk menggenjot mengerem, menggenjot mengerem, dengan tiba tiba. Itulah mengapa buat saya masuk akal saja kalo upah tukang becak harus dihargai dengan sepantasnya. Karena naik becak juga melibatkan  skill tersendiri dan terdapat unsur seni didalamnya.
Perjalanan dengan santai tak terasa kulalui. 1km, 2km dan hingga beberapa kilometer telah kulewati dan akhirnya rasa lelah mengharuskan aku untuk beristirahat.
Kukeluarkan perbekalan seperti roti. sebotol p0cari sw**t dan menghisap sebatang rokok kretekku sambil mengipaskan caping agar udara sejuk menerpa tubuh yang berkeringat. Sejenak beristirahat sudah membuat badanku segar kembali dan kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan kembali.
Dan akhirnya setelah mengendarai selama lebih kurang dari 2.5-3 jam akhirnya sampai juga aku dirumah.
Membawa becak pulang
Beberapa tetanggaku yang melihat aku datang membawa becak seperti keheranan dan bertanya tanya kepadaku. Seperti :"Ini ada jasa angkut kok pake bawa bawa becak buat apa", ujarnya. atau "beli becak buat apa, kayak nggak ada yang lain saja", ujar tetangga yang lain. Terserah pada mau ngomong apa. Yang jelas becak ini merupakan bagian dari sejarah transportasi massal yang dahulu sempat fenomenal. Juga becak dan trotoar merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dapat dipisahkan. Dimana ada trotoar pasti disitu becak akan mangkal. Itulah mengapa aku menginginkan becak untuk koleksiku yang notabene juga koleksi trotoar street bar.
Karena suatu saat nanti bisa saja, becak konvensional yang ada sekarang, akan tergusur oleh transportasi modern lainnya seperti betor, taxi, gojek, grab dan lainnya. Akhirnya becak konvensional hanyalah menjadi cerita. Dan cerita beserta barang bukti yang ada itu paling tidak berada di trotoar streetbar. Entah untuk siapa, kalau tidak untuk anak cucu kita nanti...